Film "Si Anak Kampoeng" Terkenal di Amerika
Film Si Anak Kampoeng yang disutradarai oleh Damien Dematra merupakan salah satu film Indonesia yang berjaya di Amerika Serikat dalam festival film American International Film (AIFF) dengan meraih sejumlah penghargaan. Film ini berlatar belakang tahun 1930-an sampai 1950-an di sebuah kampung kecil Minang yang telah menjadi saksi bisu perjuangan Si Anak Kampoeng.
Syafii Maarif kecil yang dipanggil Pi’i, yang adalah anak kapala nagari terpandang di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Sang ayah menginginkan Pi’i menjadi seperti dirinya dan mendorongnya untuk maju. Onga Sanusi, seorang tokoh dan pengajar Muhammadiyah yang menjadi idola Pi’i berpikiran berbeda. Ia yakin Syafii dapat menjadi lebih daripada ayahnya dan pergi merantau untuk menimba ilmu.
Di tengah kerinduan yang mendalam akan bundanya yang telah pergi selamanya, Syafii harus berhadapan dengan banyak kendala yang terlalu besar untuk dirinya dalam mengikuti hatinya, sehingga sebuah pertanyaan pun timbul: terlalu mahalkah harga yang harus dibayar untuk mengejar mimpi? Apakah akhirnya kehidupan bermurah hati pada mereka yang terus berusaha menggapai mimpi?
Menurut sutradara Damien Dematra, film ini diperankan dengan sangat baik oleh Radhit Syam (Syafii kecil) dan Lucky Moniaga (Datuk Ma’rifah, ayah Pi’i), dan didukung secara profesional dan total oleh para pemain papan atas, Ayu Azhari, Ingrid Widjanarko, dan Pong Hardjatmo serta para bintang lainnya Virda Anggraini, Maya Ayu Permata Sari, Elmendy, Mohammad Firman, Ayu Gumay, dll.
Lembaga Sensor Film mengeluarkan rating kategori Semua Umur untuk film ini, yang artinya film ini layak dikonsumsi oleh semua lapisan usia.
Berjaya di Amerika Serikat
Film Si Anak Kampoeng ini merupakan salah satu film Indonesia yang berjaya di Amerika Serikat dalam festival film American International Film (AIFF) dengan meraih sejumlah penghargaan.
Menurut sutradara film itu, Damien Dematra melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin, Si Anak Kampoeng meraih enam penghargaan, yaitu film cerita terbaik, sutradara film terbaik, dan film asing terbaik.
Sinopsis :
Syafii, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah 1998-2000 dan 2000-2005, sejarawan, dan pejuang pluralisme, di tahun 1940an masih seorang anak kampung di Nagari Sumpur Kudus, Sumatera Barat, yang hanya mengenal bagaimana cara belajar, mengadu ayam dan sapi, memancing, menyambit rumput, dan menembak. Bersama Zainal, sepupunya, Makdiah, si suka berantem, Husin, sang penakut, dan Julai, si melankolik, Syafii mengarungi masa-masa di Sekolah Rakjat Sumpur Kudus. Syafii kehilangan ibu kandungnya sewaktu ia masih bayi–sebuah kematian yang membuat sang ayah, Ma'rifah Rauf, seorang terpandang di kampungnya, sangat terpukul. Syafii kemudian dititipkan pada paman dan bibi yang mengasuhnya seperti anak mereka, dan juga memperhatikan perkembangan keimanan Syafii, sehingga ia kemudian bersekolah di Madrasah dan rajin mengaji.
Sekalipun ayahnya kemudian melakukan poligami, hubungan ayah dan anak itu tetap erat, dan mereka suka bepergian bersama. Perang revolusi kemudian mengoyakkan kehidupan keluarga Ma'rifah. Ditambah lagi, salah satu rumah mereka terbakar hangus. Setelah perang selesai, sang ayah, yang melihat kemampuan anaknya yang cemerlang, berusaha menyekolahkannya ke sebuah madrasah yang terkenal di Lintau.
Setelah lulus, Syafii dihadapkan pada sebuah persimpangan: tinggal di desa yang dicintainya, atau merantau ke tanah Jawa untuk meneruskan sekolah agama. Sebuah pilihan yang tidak didukung ayahnya. Onga Sanusi, tokoh dan pengajar Muhammadiyah yang menjadi idola Pi’i berpikiran lain. Ia yakin Syafii dapat menjadi lebih daripada ayahnya dan pergi merantau untuk menimba ilmu. Saat keputusan dijatuhkan, berbagai kekecewaan melanda dan hampir mengubah jalan hidup Syafii.
Kiriman Surat dari Obama buat Sang Sutradara
Beberapa waktu lalu staf kedutaan besar Amerika Serikat menghubungi Damien Dematra perihal surat dari Gedung Putih yang ditujukan kepada Damien Dematra.
Dalam surat yang ditandatangani Presiden Obama, beliau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas upaya-upaya yang dilakukan Damien Dematra dalam meningkatkan hubungan baik antara Amerika Serikat dan Indonesia lewat karya-karyanya.
Obama juga berterima kasih untuk lukisan ‘Little Obama’ yang dipersembahkan oleh Damien Dematra pada Presiden AS tersebut. Lukisan sebesar 80cmx100cm yang mempergunakan teknik unik yang disebut Damien dengan teknik ‘white on white’ telah diterima oleh Obama di Gedung Putih.
Sebelumnya, lukisan ini telah dipamerkan dalam pameran tunggal Damien Dematra di SDN Menteng, Dharmawangsa Square dan Taman Ismail Marzuki bersama 32 karya lukisan lainnya tentang masa kecil Obama, di mana Damien berhasil memecahkan rekor dunia melukis tercepat dengan lukisan bertema ‘Obama on Becak’.
Damien berharap dapat bertemu muka dengan Presiden Obama dalam kunjungannya ke Indonesia di waktu mendatang, untuk dapat menyerahkan langsung karya spektakuler lainnya, buku ‘Obama & Pluralism’ yang merupakan buku tertebal di dunia saat ini.
Kisah di Balik Pembuatan Film Si Anak Kampoeng
Film Si Anak Kampoeng trilogi pertama yang mengangkat kisah hidup Buya Syafii Maarif semasa kecil dan diangkat dari novel Si Anak Kampoeng akhirnya ditayangkan perdana di Epicentrum XXI Kuningan, pada hari Selasa, 19 April 2011 pukul 19.00. Film ini digarap sutradara Damien Dematra, yang sekaligus adalah penulis, dan produser dalam film ini adalah Fajar Riza Ul Haq dan Damien Dematra dengan rumah produksi Damien Dematra Production bekerjasama dengan Maarif Production.
Sebuah kisah panjang dimulai dari sebuah perjumpaan. Film trilogi Si Anak Kampoeng (SAK) ini bermula dari sebuah kesan pertama, saat sutradara dan penulis Damien Dematra berkunjung ke rumah Buya Syafii Ma’arif atas rekomendasi Gus Dur. Damien Dematra merasa sangat terkesan dengan kesahajaan seorang tokoh besar, yang sekalipun telah menjadi seorang guru bangsa, masih memasak, mencuci mobil, dan menyetir sendiri. Damien merasa melihat potret sederhana seorang pemimpin. Kesederhaan hidup dan keluwesannya dalam bertutur kata dan mengungkapkan pandangannya serta kisah hidupnya telah membuat Damien Dematra tiba-tiba mencetuskan sebuah ide, “Jangan hanya menulis buku, Buya. Bagaimana kalau kisahnya difilm-kan saja?”
Dibutuhkan beberapa bulan sejak masa itu untuk menyakinkan Buya sampai lampu hijau akhirnya diturunkan. Film trilogi SAK akhirnya diumumkan rencananya dalam Konferensi Pers tanggal 5 Agustus 2009 di Taman Ismail Marzuki yang dihadiri puluhan wartawan media cetak dan elektronik dan didukung oleh Js. Budi S. Tanuwibowo (Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu Indonesia), Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ (Guru Besar STF Driyarkara), Sudhamek AWS, SE, SH. (Ketua Umum Majelis Budhayana Indonesia), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ, Pdt. Dr. Erick Barus (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), dan Romo Benny Susetyo (Aktifis HAM).
Sosialisasi film ini dilanjutkan pada acara "Tadarus Kebangsaan Ramadhan 1430 H" di Auditorium Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Jumat, 4 September 2009, didukung oleh Prof. Ahmad Syafii Maarif, Dr. Abdul Mu'ti M.Ed (PP Muhammadiyah), Nasir Abas (Mantan Pimpinan Jamaah Islamiyah), Prof. Franz Magnis-Suseno, Brigjen. Pol. (Purn) Suryadarma (Mantan KaDensus 88 Anti Teror), Jend. TNI (Purn) Dr. A.M. Hendropriyono (Mantan Kepala BIN), Prof. Azyumardi Azra (Direktur Pascasarjana UIN Jakarta).
Selasa, 1 September 2009, para produser, Fajar Riza Ul Haq dan Damien Dematra, bersama tim berkunjungan ke Wapres RI, Jusuf Kalla, pada hari Selasa, di kediamannya, dalam rangka endorsement untuk film ini.
Penulisan novel cerita Si Anak Kampoeng yang diangkat dari kehidupan Buya akhirnya diluncurkan di PP Muhammadiyah, pada hari Kamis, 11 Februari 2010, sedangkan trailer perdana Si Anak Kampoeng diputar dalam acara 1 Abad Muhammadiyah di Yogyakarta pada awal bulan Juli 2010, dan ditayangkan di Kick Andy (Metro TV) di talk-show berbarengan dengan kehadiran Buya Ahmad Syafii Maarif pada tanggal 30 Juli 2010. Sempat mengalami penundaan, namun akhirnya, pada awal tahun 2011, pra-produksi film ini pun dimulai.
Produser film dan Direktur Eksekutif Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq, mengakui bahwa terjadi perdebatan internal ketika pertama kali menggagas film ini, dua tahun silam, karena mengangkat seorang tokoh, pemimpin Muhammadiyah yang masih hidup. Ia tidak menyangkal bahwa film ini mungkin akan menerima kritikan konstruktif karena kehadirannya, namun pihaknya lebih memandang hal ini sebagai bagian dari kreativitas dan menjadi semacam terobosan baru bagi organisasi seperti Muhammadiyah.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa film ini sama sekali tidak ingin menyamai Sang Pencerah yang mengisahkan kehidupan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, karena menurutnya, sisi segmentasi pasar dan penonton, serta pesan yang terkandung di dalam film ini berbeda.
Bagi Damien Dematra, sang produser dan sutradara, film ini sendiri sangat personal karena selain prosesnya yang panjang dari proses persiapan dan masa pra-produksi hingga shooting yang memakan waktu lebih dari dua tahun, proses shooting ini juga penuh warna.
Mengambil tempat di Padang dan Jawa Barat, lokasi utama yang akhirnya dipilih terletak di desa Cugenang, Puncak, yang memiliki suhu udara yang sangat rendah. ‘Kampoeng Sumpur Kudus’ dibangun dalam sebuah lembah dan akses menuju ke lokasi membutuhkan waktu yang cukup jauh dengan berjalan kaki melalui tangga tanah yang licin kalau hujan—dan hujan terjadi nyaris setiap hari! Perjuangan yang berat ini ditambah lagi dengan banyaknya pemain yang menghadapi tantangan fisik, mental, dan spiritual—mulai dari kecelakan kuda, kecelakaan mobil, kesurupan, gangguan cuaca yang unik, berbagai penampakan, dan lain-lain. Namun, persiapan yang matang, termasuk pengaturan shot per shot dan angle yang akan diambil telah dilakukan jauh sebelumnya oleh Damien Dematra yang merangkap sebagai Director of Photography, sehingga ketika terjadi kendala dan tantangan, shooting dapat terus berjalan.
Project film Si Anak Kampoeng adalah sebuah project idealis bagi Damien dan dalam penggarapannya akhirnya terpaksa dilakukan dengan ‘cukup militan’. Tetesan air mata bercampur emosi dihadapkan dengan bauran ego dan keinginan dari berbagai pihak telah membuat film ini mahal secara mental baginya. Menurut penuturan Damien, baru setelah paruh masa shooting kedua, proses shooting mulai mengalir dengan lancar, hanya saja dengan harga mahal yang harus dibayar. Karena bagi Damien, film ini adalah sebuah persembahan bagi Buya dan bangsa Indonesia, dan sebuah pemenuhan janji pada para pecinta film Indonesia dan juga dunia internasional tentang sajian tontonan yang humanis, mendidik, namun juga menghibur. Tambahan lagi film yang skenarionya sempat dibongkar 10 kali ini akan diputar secara berkala di sekolah-sekolah Muhammadiyah dan Katolik. Hal menjadi juga menjadi tanggung jawab moral tersendiri bagi sang sutradara.
Ketika ditanya tentang biaya, Damien berujar, “Kalau segala sesuatu diukur dengan uang, maka gagallah peradaban manusia. Namun, ia pun mengakui bahwa di lapangan, ia sangat budget-minded, karena kedisiplinan dalam segala hal adalah salah satu faktor yang menentukan lama nafas produksi film itu sendiri.
Damien Dematra berharap bahwa film yang melibatkan hampir 400 pemain dan 200 crew ini dapat mengabadikan karakter guru bangsa, dan menjadi contoh dan warisan bagi generasi muda ke depan. Lebih lanjut ia berhasrat agar film ini dapat memberi inspirasi anak-anak Indonesia agar menyadari pentingnya pluralitas, yang menghargai keragaman suku, agama, dan budaya, serta setia pada impiannya.
Semoga film ini dapat melahirkan “Buya Buya kecil” baru, yang berani bermimpi dan berjuang keras untuk meraih mimpinya karena harapan selalu ada dan bagi mereka yang tekun, kehidupan dapat berputar dan memberikan sebuah... kesempatan kedua.
Apa kata para pengamat?
HM. Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI 2004 - 2009 menyatakan bahwa film mengenai Buya patut disimak, dipelajari, dan dijadikan teladan.
Apabila Anda ingin diperkaya, menjadi lebih cerdas dan bijak, maka tontonlah film ini. Di sana Anda akan menemukan kekayaan. Begitulah ucapan Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap, Ketua Umum Komisi Wali Gereja Indonesia.
Dengan ketenangan yang selalu menjadi salah satu ciri khasnya, Biku Sri Pannyavaro, VP World Buddhist Sangha Council, mengatakan bahwa film Si Anak Kampoeng tentang kisah kehidupan Buya Syafii sangat berharga disimak anak bangsa ini. Ketulusan dan kehangatannya dalam bergaul dengan semua lapisan masyarakat yang mengabdi sampai usia yang lanjut adalah kekayaan bagi kita semua.
Bergantian dengannya, Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, menyampaikan bahwa film Si Anak Kampoeng adalah bukti jelas bahwa kampung tidak boleh diremehkan dan dilecehkan; bahkan kampung adalah dasar memperluas wawasan, seperti yang dialami oleh Buya Syafii Maarif. Saksikanlah film ini dan Anda akan memperoleh wawasan yang luas, arif, dan profesional.
Lain lagi pendapat Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ yang akrab dipanggil Romo Magnis. Menurutnya, Buya Syafii Maarif adalah tokoh Indonesia yang paling penting. Tolong lihat filmnya. Itu penting juga, demikian ujarnya sambil tersenyum.
KH. Solahuddin Wahid , tokoh Nahdlatul Ulama, mengungkapkan bahwa film Si Anak Kampoeng di mana sang tokoh akhirnya dapat menjadi tokoh nasional, bahkan internasional, membuktikan bahwa anak kampung yang mendapat kesempatan akan bisa meraih prestasi, karena itu anak kampung yang lain juga perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya. Saksikanlah film Si Anak Kampoeng. Demikian ujarnya dengan sungguh-sungguh.
Romo Benny Susetyo (Aktifis HAM) berpendapat bahwa film ini dapat memberi pencerahan dan titik balik seperti karya Pramoedya Ananta Toer.
Copyright@www.sumber-informasi-kita.blogspot.com All rights reserved, written by Drs. Asep Dewan, SH
Syafii Maarif kecil yang dipanggil Pi’i, yang adalah anak kapala nagari terpandang di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Sang ayah menginginkan Pi’i menjadi seperti dirinya dan mendorongnya untuk maju. Onga Sanusi, seorang tokoh dan pengajar Muhammadiyah yang menjadi idola Pi’i berpikiran berbeda. Ia yakin Syafii dapat menjadi lebih daripada ayahnya dan pergi merantau untuk menimba ilmu.
Di tengah kerinduan yang mendalam akan bundanya yang telah pergi selamanya, Syafii harus berhadapan dengan banyak kendala yang terlalu besar untuk dirinya dalam mengikuti hatinya, sehingga sebuah pertanyaan pun timbul: terlalu mahalkah harga yang harus dibayar untuk mengejar mimpi? Apakah akhirnya kehidupan bermurah hati pada mereka yang terus berusaha menggapai mimpi?
Menurut sutradara Damien Dematra, film ini diperankan dengan sangat baik oleh Radhit Syam (Syafii kecil) dan Lucky Moniaga (Datuk Ma’rifah, ayah Pi’i), dan didukung secara profesional dan total oleh para pemain papan atas, Ayu Azhari, Ingrid Widjanarko, dan Pong Hardjatmo serta para bintang lainnya Virda Anggraini, Maya Ayu Permata Sari, Elmendy, Mohammad Firman, Ayu Gumay, dll.
Lembaga Sensor Film mengeluarkan rating kategori Semua Umur untuk film ini, yang artinya film ini layak dikonsumsi oleh semua lapisan usia.
Berjaya di Amerika Serikat
Film Si Anak Kampoeng ini merupakan salah satu film Indonesia yang berjaya di Amerika Serikat dalam festival film American International Film (AIFF) dengan meraih sejumlah penghargaan.
Menurut sutradara film itu, Damien Dematra melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin, Si Anak Kampoeng meraih enam penghargaan, yaitu film cerita terbaik, sutradara film terbaik, dan film asing terbaik.
Sinopsis :
- Produser: Endang Tirtana, Irene Christina, Stevie Sylvana, Fajar Riza Ul Haq, Damien Dematra
- Sutradara: Damien Dematra
- Penulis: Damien Dematra
- Pemeran: Radhit Syam, Lucky Moniaga, Pong Hardjatmo, Virda Anggraini, Maya Ayu Permata Sari, Elmendy, Mohammad Firman, Ayu Gumay, Andara
- Tanggal edar: Kamis, 21 April 2011
- Warna: Warna
- Bahasa: Minang
- Bahasa lain: Indonesia dialek Minang
Syafii, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah 1998-2000 dan 2000-2005, sejarawan, dan pejuang pluralisme, di tahun 1940an masih seorang anak kampung di Nagari Sumpur Kudus, Sumatera Barat, yang hanya mengenal bagaimana cara belajar, mengadu ayam dan sapi, memancing, menyambit rumput, dan menembak. Bersama Zainal, sepupunya, Makdiah, si suka berantem, Husin, sang penakut, dan Julai, si melankolik, Syafii mengarungi masa-masa di Sekolah Rakjat Sumpur Kudus. Syafii kehilangan ibu kandungnya sewaktu ia masih bayi–sebuah kematian yang membuat sang ayah, Ma'rifah Rauf, seorang terpandang di kampungnya, sangat terpukul. Syafii kemudian dititipkan pada paman dan bibi yang mengasuhnya seperti anak mereka, dan juga memperhatikan perkembangan keimanan Syafii, sehingga ia kemudian bersekolah di Madrasah dan rajin mengaji.
Sekalipun ayahnya kemudian melakukan poligami, hubungan ayah dan anak itu tetap erat, dan mereka suka bepergian bersama. Perang revolusi kemudian mengoyakkan kehidupan keluarga Ma'rifah. Ditambah lagi, salah satu rumah mereka terbakar hangus. Setelah perang selesai, sang ayah, yang melihat kemampuan anaknya yang cemerlang, berusaha menyekolahkannya ke sebuah madrasah yang terkenal di Lintau.
Setelah lulus, Syafii dihadapkan pada sebuah persimpangan: tinggal di desa yang dicintainya, atau merantau ke tanah Jawa untuk meneruskan sekolah agama. Sebuah pilihan yang tidak didukung ayahnya. Onga Sanusi, tokoh dan pengajar Muhammadiyah yang menjadi idola Pi’i berpikiran lain. Ia yakin Syafii dapat menjadi lebih daripada ayahnya dan pergi merantau untuk menimba ilmu. Saat keputusan dijatuhkan, berbagai kekecewaan melanda dan hampir mengubah jalan hidup Syafii.
Film berbahasa daerah yang memotret realitas keseharian masyarakat diminati penonton sekaligus menjadi pengobat rindu masyarakat akan hiburan berbahasa daerah. Film juga membuat penonton mencintai bahasa daerahnya.
Kiriman Surat dari Obama buat Sang Sutradara
Beberapa waktu lalu staf kedutaan besar Amerika Serikat menghubungi Damien Dematra perihal surat dari Gedung Putih yang ditujukan kepada Damien Dematra.
Dalam surat yang ditandatangani Presiden Obama, beliau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas upaya-upaya yang dilakukan Damien Dematra dalam meningkatkan hubungan baik antara Amerika Serikat dan Indonesia lewat karya-karyanya.
Obama juga berterima kasih untuk lukisan ‘Little Obama’ yang dipersembahkan oleh Damien Dematra pada Presiden AS tersebut. Lukisan sebesar 80cmx100cm yang mempergunakan teknik unik yang disebut Damien dengan teknik ‘white on white’ telah diterima oleh Obama di Gedung Putih.
Sebelumnya, lukisan ini telah dipamerkan dalam pameran tunggal Damien Dematra di SDN Menteng, Dharmawangsa Square dan Taman Ismail Marzuki bersama 32 karya lukisan lainnya tentang masa kecil Obama, di mana Damien berhasil memecahkan rekor dunia melukis tercepat dengan lukisan bertema ‘Obama on Becak’.
Damien berharap dapat bertemu muka dengan Presiden Obama dalam kunjungannya ke Indonesia di waktu mendatang, untuk dapat menyerahkan langsung karya spektakuler lainnya, buku ‘Obama & Pluralism’ yang merupakan buku tertebal di dunia saat ini.
Kisah di Balik Pembuatan Film Si Anak Kampoeng
Film Si Anak Kampoeng trilogi pertama yang mengangkat kisah hidup Buya Syafii Maarif semasa kecil dan diangkat dari novel Si Anak Kampoeng akhirnya ditayangkan perdana di Epicentrum XXI Kuningan, pada hari Selasa, 19 April 2011 pukul 19.00. Film ini digarap sutradara Damien Dematra, yang sekaligus adalah penulis, dan produser dalam film ini adalah Fajar Riza Ul Haq dan Damien Dematra dengan rumah produksi Damien Dematra Production bekerjasama dengan Maarif Production.
Sebuah kisah panjang dimulai dari sebuah perjumpaan. Film trilogi Si Anak Kampoeng (SAK) ini bermula dari sebuah kesan pertama, saat sutradara dan penulis Damien Dematra berkunjung ke rumah Buya Syafii Ma’arif atas rekomendasi Gus Dur. Damien Dematra merasa sangat terkesan dengan kesahajaan seorang tokoh besar, yang sekalipun telah menjadi seorang guru bangsa, masih memasak, mencuci mobil, dan menyetir sendiri. Damien merasa melihat potret sederhana seorang pemimpin. Kesederhaan hidup dan keluwesannya dalam bertutur kata dan mengungkapkan pandangannya serta kisah hidupnya telah membuat Damien Dematra tiba-tiba mencetuskan sebuah ide, “Jangan hanya menulis buku, Buya. Bagaimana kalau kisahnya difilm-kan saja?”
Dibutuhkan beberapa bulan sejak masa itu untuk menyakinkan Buya sampai lampu hijau akhirnya diturunkan. Film trilogi SAK akhirnya diumumkan rencananya dalam Konferensi Pers tanggal 5 Agustus 2009 di Taman Ismail Marzuki yang dihadiri puluhan wartawan media cetak dan elektronik dan didukung oleh Js. Budi S. Tanuwibowo (Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu Indonesia), Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ (Guru Besar STF Driyarkara), Sudhamek AWS, SE, SH. (Ketua Umum Majelis Budhayana Indonesia), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ, Pdt. Dr. Erick Barus (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), dan Romo Benny Susetyo (Aktifis HAM).
Sosialisasi film ini dilanjutkan pada acara "Tadarus Kebangsaan Ramadhan 1430 H" di Auditorium Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Jumat, 4 September 2009, didukung oleh Prof. Ahmad Syafii Maarif, Dr. Abdul Mu'ti M.Ed (PP Muhammadiyah), Nasir Abas (Mantan Pimpinan Jamaah Islamiyah), Prof. Franz Magnis-Suseno, Brigjen. Pol. (Purn) Suryadarma (Mantan KaDensus 88 Anti Teror), Jend. TNI (Purn) Dr. A.M. Hendropriyono (Mantan Kepala BIN), Prof. Azyumardi Azra (Direktur Pascasarjana UIN Jakarta).
Selasa, 1 September 2009, para produser, Fajar Riza Ul Haq dan Damien Dematra, bersama tim berkunjungan ke Wapres RI, Jusuf Kalla, pada hari Selasa, di kediamannya, dalam rangka endorsement untuk film ini.
Penulisan novel cerita Si Anak Kampoeng yang diangkat dari kehidupan Buya akhirnya diluncurkan di PP Muhammadiyah, pada hari Kamis, 11 Februari 2010, sedangkan trailer perdana Si Anak Kampoeng diputar dalam acara 1 Abad Muhammadiyah di Yogyakarta pada awal bulan Juli 2010, dan ditayangkan di Kick Andy (Metro TV) di talk-show berbarengan dengan kehadiran Buya Ahmad Syafii Maarif pada tanggal 30 Juli 2010. Sempat mengalami penundaan, namun akhirnya, pada awal tahun 2011, pra-produksi film ini pun dimulai.
Produser film dan Direktur Eksekutif Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq, mengakui bahwa terjadi perdebatan internal ketika pertama kali menggagas film ini, dua tahun silam, karena mengangkat seorang tokoh, pemimpin Muhammadiyah yang masih hidup. Ia tidak menyangkal bahwa film ini mungkin akan menerima kritikan konstruktif karena kehadirannya, namun pihaknya lebih memandang hal ini sebagai bagian dari kreativitas dan menjadi semacam terobosan baru bagi organisasi seperti Muhammadiyah.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa film ini sama sekali tidak ingin menyamai Sang Pencerah yang mengisahkan kehidupan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, karena menurutnya, sisi segmentasi pasar dan penonton, serta pesan yang terkandung di dalam film ini berbeda.
Bagi Damien Dematra, sang produser dan sutradara, film ini sendiri sangat personal karena selain prosesnya yang panjang dari proses persiapan dan masa pra-produksi hingga shooting yang memakan waktu lebih dari dua tahun, proses shooting ini juga penuh warna.
Mengambil tempat di Padang dan Jawa Barat, lokasi utama yang akhirnya dipilih terletak di desa Cugenang, Puncak, yang memiliki suhu udara yang sangat rendah. ‘Kampoeng Sumpur Kudus’ dibangun dalam sebuah lembah dan akses menuju ke lokasi membutuhkan waktu yang cukup jauh dengan berjalan kaki melalui tangga tanah yang licin kalau hujan—dan hujan terjadi nyaris setiap hari! Perjuangan yang berat ini ditambah lagi dengan banyaknya pemain yang menghadapi tantangan fisik, mental, dan spiritual—mulai dari kecelakan kuda, kecelakaan mobil, kesurupan, gangguan cuaca yang unik, berbagai penampakan, dan lain-lain. Namun, persiapan yang matang, termasuk pengaturan shot per shot dan angle yang akan diambil telah dilakukan jauh sebelumnya oleh Damien Dematra yang merangkap sebagai Director of Photography, sehingga ketika terjadi kendala dan tantangan, shooting dapat terus berjalan.
Project film Si Anak Kampoeng adalah sebuah project idealis bagi Damien dan dalam penggarapannya akhirnya terpaksa dilakukan dengan ‘cukup militan’. Tetesan air mata bercampur emosi dihadapkan dengan bauran ego dan keinginan dari berbagai pihak telah membuat film ini mahal secara mental baginya. Menurut penuturan Damien, baru setelah paruh masa shooting kedua, proses shooting mulai mengalir dengan lancar, hanya saja dengan harga mahal yang harus dibayar. Karena bagi Damien, film ini adalah sebuah persembahan bagi Buya dan bangsa Indonesia, dan sebuah pemenuhan janji pada para pecinta film Indonesia dan juga dunia internasional tentang sajian tontonan yang humanis, mendidik, namun juga menghibur. Tambahan lagi film yang skenarionya sempat dibongkar 10 kali ini akan diputar secara berkala di sekolah-sekolah Muhammadiyah dan Katolik. Hal menjadi juga menjadi tanggung jawab moral tersendiri bagi sang sutradara.
Ketika ditanya tentang biaya, Damien berujar, “Kalau segala sesuatu diukur dengan uang, maka gagallah peradaban manusia. Namun, ia pun mengakui bahwa di lapangan, ia sangat budget-minded, karena kedisiplinan dalam segala hal adalah salah satu faktor yang menentukan lama nafas produksi film itu sendiri.
Damien Dematra berharap bahwa film yang melibatkan hampir 400 pemain dan 200 crew ini dapat mengabadikan karakter guru bangsa, dan menjadi contoh dan warisan bagi generasi muda ke depan. Lebih lanjut ia berhasrat agar film ini dapat memberi inspirasi anak-anak Indonesia agar menyadari pentingnya pluralitas, yang menghargai keragaman suku, agama, dan budaya, serta setia pada impiannya.
Semoga film ini dapat melahirkan “Buya Buya kecil” baru, yang berani bermimpi dan berjuang keras untuk meraih mimpinya karena harapan selalu ada dan bagi mereka yang tekun, kehidupan dapat berputar dan memberikan sebuah... kesempatan kedua.
Apa kata para pengamat?
HM. Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI 2004 - 2009 menyatakan bahwa film mengenai Buya patut disimak, dipelajari, dan dijadikan teladan.
Apabila Anda ingin diperkaya, menjadi lebih cerdas dan bijak, maka tontonlah film ini. Di sana Anda akan menemukan kekayaan. Begitulah ucapan Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap, Ketua Umum Komisi Wali Gereja Indonesia.
Dengan ketenangan yang selalu menjadi salah satu ciri khasnya, Biku Sri Pannyavaro, VP World Buddhist Sangha Council, mengatakan bahwa film Si Anak Kampoeng tentang kisah kehidupan Buya Syafii sangat berharga disimak anak bangsa ini. Ketulusan dan kehangatannya dalam bergaul dengan semua lapisan masyarakat yang mengabdi sampai usia yang lanjut adalah kekayaan bagi kita semua.
Bergantian dengannya, Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, menyampaikan bahwa film Si Anak Kampoeng adalah bukti jelas bahwa kampung tidak boleh diremehkan dan dilecehkan; bahkan kampung adalah dasar memperluas wawasan, seperti yang dialami oleh Buya Syafii Maarif. Saksikanlah film ini dan Anda akan memperoleh wawasan yang luas, arif, dan profesional.
Lain lagi pendapat Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ yang akrab dipanggil Romo Magnis. Menurutnya, Buya Syafii Maarif adalah tokoh Indonesia yang paling penting. Tolong lihat filmnya. Itu penting juga, demikian ujarnya sambil tersenyum.
KH. Solahuddin Wahid , tokoh Nahdlatul Ulama, mengungkapkan bahwa film Si Anak Kampoeng di mana sang tokoh akhirnya dapat menjadi tokoh nasional, bahkan internasional, membuktikan bahwa anak kampung yang mendapat kesempatan akan bisa meraih prestasi, karena itu anak kampung yang lain juga perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya. Saksikanlah film Si Anak Kampoeng. Demikian ujarnya dengan sungguh-sungguh.
Romo Benny Susetyo (Aktifis HAM) berpendapat bahwa film ini dapat memberi pencerahan dan titik balik seperti karya Pramoedya Ananta Toer.
0 komentar:
Posting Komentar