Ujian Nasional
Istilah Ujian Nasional terdiri dari 2 (dua) kata gabung yakni Ujian dan Nasional. Ujian mempunyai arti tes, yakni sejenis penilaian yang dimaksudkan untuk mengukur pengetahuan tes-taker itu, keterampilan, bakat, kebugaran fisik, atau klasifikasi dalam topik lain (misalnya, keyakinan). Sedangkan term Nasional menunjuk pada suatu kelompok manusia yang dianggap memiliki identitas bersama, dan mempunyai kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya, dan/atau sejarah. Mereka umumnya dianggap memiliki asal-usul keturunan yang sama.
Dalam aplikasinya di sekolah-sekolah di Indonesia istilah Ujian Nasional mengacu pada suatu sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Kemdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan.
Ujian Nasional (UN) digelar untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil UN digunakan sebagai:
1. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
2. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
3. Penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan
4. Dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Peserta UN merupakan siswa yang telah berada pada tahun terakhir di SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMALB, atau SMK. Peserta juga memiliki laporan lengkap penilaian hasil belajar pada SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMALB, atau SMK mulai semester I tahun pertama hingga semester I tahun terakhir.
Mereka yang memiliki ijazah atau surat keterangan lain yang setara atau berpenghargaan sama dengan ijazah dari satuan pendidikan yang setingkat lebih rendah, atau memiliki bukti kenaikan kelas dari kelas III ke kelas IV untuk siswa Kulliyatul-Mu’alimin Al Islamiyah (KMI)/Tarbiyatul-Mu’alimin Al Islamiyah (TMI) yang pindah ke SMA/MA atau SMK.
Standar Kelulusan Ujian Nasional
1. Memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Khusus untuk SMK, nilai praktik kejuruan minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN; dan
2. Pemerintah Kabupaten/Kota dan atau satuan pendidikan dapat menetapkan standar kelulusan UN lebih tinggi dari criteria tersebut sebelum pelaksanaan UN.
Mata Pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional
Untuk UN SMA/MA mata ujian terdiri dari :
Program IPA
Matematika,
Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris,
Kimia,
Biologi, dan
Fisika
Program IPS
Matematika,
Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris,
Sosiologi,
Geografi, dan
Ekonomi
Program Bahasa
Matematika,
Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris,
Bahasa Asing lain yang diambil,
Sejarah Budaya/Antropologi, dan
Sastra Indonesia
Program Keagamaan
Matematika,
Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris,
Ilmu Tafsir,
Ilmu Hadis, dan
Ilmu Kalam.
Untuk UN SMK mata ujian terdiri dari :
Matematika,
Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris,
Teori Kejuruan, dan
Praktek Kejuruan
Untuk Tingkatan SMP/MTS diujikan seperti :
Matematika,
Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris,
IPA (Ilmu Pengetahuan Alam)
Sedangkan untuk Tingkatan SD/MI diujikan seperti :
Matematika,
Bahasa Indonesia,
IPA,
Kiat Sukses Ujian Nasional untuk Guru Pembimbing
Setiap tahun pelaksanaan UN memang selalu menjadi pembicaraan hangat bahkan kontroversi karena masih terdapat tindak kecurangan atau penyelewengan dalam pelaksaanaan UN, misalnya jual-beli soal atau jawaban yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Polemik makin berkepanjangan ketika banyak siswa yang tidak lulus UN, apalagi siswa-siswa yang tidak lulus tersebut adalah siswa-siswa yang berprestasi di sekolahnya.
Nilai UN yang dijadikan sebagai kunci apakah siswa lulus atau tidak setelah menempuh pendidikan selama tiga tahun memang menjadi hal yang dilematis bagi sekolah dan dinas yang terkait. Di satu sisi, ini merupakan sebuah program dalam meningkatkan kualitas kompetensi lulusan. Namun, di sisi lain, bila input siswa yang dimiliki kemampuannya minim, ditambah fasilitas yang kurang memadai dan kondisi-kondisi lainnya yang kurang menunjang untuk peningkatan kualitas siswanya, maka kekhawatiran akan hasil UN yang mengakibatkan banyaknya siswa tidak lulus adalah sangat beralasan.
Banyaknya siswa yang tidak lulus akan memengaruhi kredibilitas sekolah di mata masyarakat yang akan berdampak pada menurunnya minat orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Alhasil sekolah pun harus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan hasil UN. Di antara sekian strategi yang bisa dilakukan adalah, pertama, meningkatkan motivasi siswa. Motivasi adalah dorongan yang ada dalam diri seeorang. Bila seseorang memiliki motivasi tinggi maka seberat apa pun tantangan yang ada di hadapannya akan mampu ia atasi. Karena itu, menumbuhkan motivasi yang tinggi di siswa adalah langkah awal yang harus dilakukan.
Tentu saja tidak mudah untuk menumbuhkan motivasi atau gairah belajar yang tinggi di siswa ini. Diperlukan pendekatan khusus, mungkin bisa dimulai dengan pengklasifikasian siswa dari siswa yang memiliki high motivation sampai yang low motivation, lalu dibuat progress report-nya.
Lakukan proses penanganan per siswa, terutama yang memiliki motivasi belajar kurang sampai kemudian motivasi belajarnya itu muncul. Pendekatan psikologis secara personal di luar jam pelajaran dengan suasana yang rileks dan nyaman perlu dilakukan sehingga ada kedekatan dan keterbukaan antara siswa dan guru.
Strategi kedua, mengubah sistem pembelajaran. Sistem pembelajaran dalam menghadapi UN tentu saja harus berbeda dengan sistem pembelajaran sehari-hari. Selain pemberian materi juga diadakan pembahasan soal-soal, bahkan setiap akhir minggu atau akhir bulan sebaiknya dilakukan try out untuk mengukur sampai di mana kompetensi yang telah dikuasai siswa.
Pembelajaran akan lebih mudah kalau menggunakan sistem kerja tim untuk guru dan sistem kelompok belajar untuk siswa. Kelompok siswa ditentukan oleh nilai hasil try out. Siswa yang mendapat nilai di atas standar disatu-kelompokkan dan yang kurang dibuat kelompok yang lain. Dampak negatifnya siswa yang dalam kelompok kurang akan merasa tersisih, tapi ini bisa disiasati dengan memberikan dukungan dan motivasi bahwa mereka mampu dan mereka pun dituntut untuk masuk ke kelompok yang mendapat nilai bagus. Pembuatan kelompok ini dilakukan untuk mempermudah pembahasan terhadap materi pelajaran yang tidak di kuasai siswa.
Ketiga, meminta dukungan dari orang tua siswa. Sekolah harus terus berkoordinasi dengan orang tua mengenai program-program dalam mempersiapkan UN. Diharapkan partisipasi orang tua secara aktif dalam membantu anak-anaknya terutama dalam pemberian motivasi dan pengawasan belajar di rumah.
Keempat, berdoa. Doa merupakan perwujudan permohonan seseorang kepada Allah agar diberi kemudahan. Efek dari doa juga melahirkan ketenangan dan ketawakalan. Ini penting karena dalam persiapan dan pelaksaan UN kondisi ketenangan berpengaruh dalam proses pengisian soal. Karena itu, dorong siswa agar lebih memperbanyak doa.
Mudah-mudahan dengan langkah-langkah di atas pelaksanaan UN memberikan pelajaran yang berharga bagi siswa, tidak hanya mendapat nilai yang sesuai dengan standar kelulusan, tapi juga merasakan bagaimana sikap harus bekerja keras untuk memperoleh sesuatu dan juga meningkatkan sikap takwa.
Terlepas dari itu, menurut penulis sebaiknya kelulusan seorang siswa tidak hanya ditentukan oleh nilai UN yang hanya diwakili oleh beberapa mata pelajaran. Alangkah lebih baiknya kalau kelulusan ditentukan melalui beberapa indikator, di antaranya hasil nilai UN, nilai rata-rata akhir semua mata pelajaran, prestasi ekstrakurikuler, dan sikap siswa baik secara mental maupun perilaku. Semoga pendidikan kita bisa menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
UN bukan Ukuran Keberhasilan Pendidikan
Ujian Nasional (UN) cenderung dipahami secara salah oleh para orang tua, kepala sekolah, dan pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Hal ini termanifestasikan dari banyaknya orang yang berlomba-lomba mengondisikan anaknya atau siswa sekolah agar meraih nilai bagus dalam UN. Padahal sesungguhnya nilai bagus dalam UN bukanlah jaminan yang layak dijadikan ukuran bagi keberhasilan pendidikan. Selama ini terjadi “salah persepsi” secara nasional terhadap kegiatan UN. Akibat salah persepsi itu, maka target UN pun menjadi beban para siswa, guru, dan kepala sekolah. Tingkat kelulusan dan nilai bagus UN seolah-olah cerminan kinerja pimpinan sekolah yang baik. Padahal bagus atau tidaknya kepimpinan sekolah tidak hanya itu.
Fenomena UN adalah gambaran kepanikan para kepala sekolah dan guru serta pihak terkait lainnya. Ini tercermin dari adanya berbagai upaya agar siswanya meraih nilai bagus dalam UN. Jika nilainya bagus, maka diharapkan ada penilaian bagus pula dari atasannya. Seandainya penyelenggaraan pendidikan khususnya pola UN masih seperti ini, kita pesimistis terhadap kemajuan program pendidikan nasional.
Dalam aplikasinya di sekolah-sekolah di Indonesia istilah Ujian Nasional mengacu pada suatu sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Kemdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan.
Penentuan standar yang terus meningkat diharapkan akan mendorong peningkatan mutu pendidikan, yang dimaksud dengan penentuan standar pendidikan adalah penentuan nilai batas (cut off score). Seseorang dikatakan sudah lulus/kompeten bila telah melewati nilai batas tersebut berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi tertentu. Bila itu terjadi pada ujian nasional atau sekolah maka nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan tidak lulus disebut batas kelulusan, kegiatan penentuan batas kelulusan disebut standard setting.
Ujian Nasional (UN) digelar untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil UN digunakan sebagai:
1. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
2. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
3. Penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan
4. Dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Peserta UN merupakan siswa yang telah berada pada tahun terakhir di SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMALB, atau SMK. Peserta juga memiliki laporan lengkap penilaian hasil belajar pada SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMALB, atau SMK mulai semester I tahun pertama hingga semester I tahun terakhir.
Mereka yang memiliki ijazah atau surat keterangan lain yang setara atau berpenghargaan sama dengan ijazah dari satuan pendidikan yang setingkat lebih rendah, atau memiliki bukti kenaikan kelas dari kelas III ke kelas IV untuk siswa Kulliyatul-Mu’alimin Al Islamiyah (KMI)/Tarbiyatul-Mu’alimin Al Islamiyah (TMI) yang pindah ke SMA/MA atau SMK.
Standar Kelulusan Ujian Nasional
1. Memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Khusus untuk SMK, nilai praktik kejuruan minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN; dan
2. Pemerintah Kabupaten/Kota dan atau satuan pendidikan dapat menetapkan standar kelulusan UN lebih tinggi dari criteria tersebut sebelum pelaksanaan UN.
Mata Pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional
Untuk UN SMA/MA mata ujian terdiri dari :
Program IPA
Matematika,
Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris,
Kimia,
Biologi, dan
Fisika
Program IPS
Matematika,
Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris,
Sosiologi,
Geografi, dan
Ekonomi
Program Bahasa
Matematika,
Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris,
Bahasa Asing lain yang diambil,
Sejarah Budaya/Antropologi, dan
Sastra Indonesia
Program Keagamaan
Matematika,
Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris,
Ilmu Tafsir,
Ilmu Hadis, dan
Ilmu Kalam.
Untuk UN SMK mata ujian terdiri dari :
Matematika,
Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris,
Teori Kejuruan, dan
Praktek Kejuruan
Untuk Tingkatan SMP/MTS diujikan seperti :
Matematika,
Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris,
IPA (Ilmu Pengetahuan Alam)
Sedangkan untuk Tingkatan SD/MI diujikan seperti :
Matematika,
Bahasa Indonesia,
IPA,
Kiat Sukses Ujian Nasional untuk Guru Pembimbing
Setiap tahun pelaksanaan UN memang selalu menjadi pembicaraan hangat bahkan kontroversi karena masih terdapat tindak kecurangan atau penyelewengan dalam pelaksaanaan UN, misalnya jual-beli soal atau jawaban yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Polemik makin berkepanjangan ketika banyak siswa yang tidak lulus UN, apalagi siswa-siswa yang tidak lulus tersebut adalah siswa-siswa yang berprestasi di sekolahnya.
Nilai UN yang dijadikan sebagai kunci apakah siswa lulus atau tidak setelah menempuh pendidikan selama tiga tahun memang menjadi hal yang dilematis bagi sekolah dan dinas yang terkait. Di satu sisi, ini merupakan sebuah program dalam meningkatkan kualitas kompetensi lulusan. Namun, di sisi lain, bila input siswa yang dimiliki kemampuannya minim, ditambah fasilitas yang kurang memadai dan kondisi-kondisi lainnya yang kurang menunjang untuk peningkatan kualitas siswanya, maka kekhawatiran akan hasil UN yang mengakibatkan banyaknya siswa tidak lulus adalah sangat beralasan.
Banyaknya siswa yang tidak lulus akan memengaruhi kredibilitas sekolah di mata masyarakat yang akan berdampak pada menurunnya minat orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Alhasil sekolah pun harus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan hasil UN. Di antara sekian strategi yang bisa dilakukan adalah, pertama, meningkatkan motivasi siswa. Motivasi adalah dorongan yang ada dalam diri seeorang. Bila seseorang memiliki motivasi tinggi maka seberat apa pun tantangan yang ada di hadapannya akan mampu ia atasi. Karena itu, menumbuhkan motivasi yang tinggi di siswa adalah langkah awal yang harus dilakukan.
Tentu saja tidak mudah untuk menumbuhkan motivasi atau gairah belajar yang tinggi di siswa ini. Diperlukan pendekatan khusus, mungkin bisa dimulai dengan pengklasifikasian siswa dari siswa yang memiliki high motivation sampai yang low motivation, lalu dibuat progress report-nya.
Lakukan proses penanganan per siswa, terutama yang memiliki motivasi belajar kurang sampai kemudian motivasi belajarnya itu muncul. Pendekatan psikologis secara personal di luar jam pelajaran dengan suasana yang rileks dan nyaman perlu dilakukan sehingga ada kedekatan dan keterbukaan antara siswa dan guru.
Strategi kedua, mengubah sistem pembelajaran. Sistem pembelajaran dalam menghadapi UN tentu saja harus berbeda dengan sistem pembelajaran sehari-hari. Selain pemberian materi juga diadakan pembahasan soal-soal, bahkan setiap akhir minggu atau akhir bulan sebaiknya dilakukan try out untuk mengukur sampai di mana kompetensi yang telah dikuasai siswa.
Pembelajaran akan lebih mudah kalau menggunakan sistem kerja tim untuk guru dan sistem kelompok belajar untuk siswa. Kelompok siswa ditentukan oleh nilai hasil try out. Siswa yang mendapat nilai di atas standar disatu-kelompokkan dan yang kurang dibuat kelompok yang lain. Dampak negatifnya siswa yang dalam kelompok kurang akan merasa tersisih, tapi ini bisa disiasati dengan memberikan dukungan dan motivasi bahwa mereka mampu dan mereka pun dituntut untuk masuk ke kelompok yang mendapat nilai bagus. Pembuatan kelompok ini dilakukan untuk mempermudah pembahasan terhadap materi pelajaran yang tidak di kuasai siswa.
Ketiga, meminta dukungan dari orang tua siswa. Sekolah harus terus berkoordinasi dengan orang tua mengenai program-program dalam mempersiapkan UN. Diharapkan partisipasi orang tua secara aktif dalam membantu anak-anaknya terutama dalam pemberian motivasi dan pengawasan belajar di rumah.
Keempat, berdoa. Doa merupakan perwujudan permohonan seseorang kepada Allah agar diberi kemudahan. Efek dari doa juga melahirkan ketenangan dan ketawakalan. Ini penting karena dalam persiapan dan pelaksaan UN kondisi ketenangan berpengaruh dalam proses pengisian soal. Karena itu, dorong siswa agar lebih memperbanyak doa.
Mudah-mudahan dengan langkah-langkah di atas pelaksanaan UN memberikan pelajaran yang berharga bagi siswa, tidak hanya mendapat nilai yang sesuai dengan standar kelulusan, tapi juga merasakan bagaimana sikap harus bekerja keras untuk memperoleh sesuatu dan juga meningkatkan sikap takwa.
Terlepas dari itu, menurut penulis sebaiknya kelulusan seorang siswa tidak hanya ditentukan oleh nilai UN yang hanya diwakili oleh beberapa mata pelajaran. Alangkah lebih baiknya kalau kelulusan ditentukan melalui beberapa indikator, di antaranya hasil nilai UN, nilai rata-rata akhir semua mata pelajaran, prestasi ekstrakurikuler, dan sikap siswa baik secara mental maupun perilaku. Semoga pendidikan kita bisa menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
UN bukan Ukuran Keberhasilan Pendidikan
Ujian Nasional (UN) cenderung dipahami secara salah oleh para orang tua, kepala sekolah, dan pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Hal ini termanifestasikan dari banyaknya orang yang berlomba-lomba mengondisikan anaknya atau siswa sekolah agar meraih nilai bagus dalam UN. Padahal sesungguhnya nilai bagus dalam UN bukanlah jaminan yang layak dijadikan ukuran bagi keberhasilan pendidikan. Selama ini terjadi “salah persepsi” secara nasional terhadap kegiatan UN. Akibat salah persepsi itu, maka target UN pun menjadi beban para siswa, guru, dan kepala sekolah. Tingkat kelulusan dan nilai bagus UN seolah-olah cerminan kinerja pimpinan sekolah yang baik. Padahal bagus atau tidaknya kepimpinan sekolah tidak hanya itu.
Fenomena UN adalah gambaran kepanikan para kepala sekolah dan guru serta pihak terkait lainnya. Ini tercermin dari adanya berbagai upaya agar siswanya meraih nilai bagus dalam UN. Jika nilainya bagus, maka diharapkan ada penilaian bagus pula dari atasannya. Seandainya penyelenggaraan pendidikan khususnya pola UN masih seperti ini, kita pesimistis terhadap kemajuan program pendidikan nasional.
0 komentar:
Posting Komentar