Diet Sinetron di Bulan Suci Ramadan
Bulan suci Ramadan adalah bulan yang penuh rahmat dan berkah. Disebutkan dalam hadist Rasulullah Muhammad SAW bahwa barang siapa yang berpuasa di bulan suci Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, akan diampuni dosa-dosanya. Di bulan yang penuh berkah ini, ada banyak kegiatan yang dapat dilakukan, mulai dari berpuasa di siang hari, menunaikan salat tarwih di malam hari, hingga itikaf dan mencari datangnya Lailatul Qadar pada 10 malam terakhir di bulan Ramadan dan diakhiri dengan zakat lalu Salat Idul Fitri di awal Bulan Syawal.
Ditegaskan dalam hadist Rasulullah Muhammad SAW, barang siapa yang mendapatkan Lailatul Qadar di bulan suci Ramadan, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak 1000 bulan. Demikian halnya dengan yang melakukan itikaf akan mendapatkan pengampunan. Oleh karena itu, di bulan Ramadan ini, ada baiknya sebagai seorang Islam yang kaffah, perlu mencanangkan 6 sukses Ramadan. Sukses puasanya, sukses salat tarwihnya, sukses baca Alqurannya, sukses itikafnya, sukses lailatul qadarnya, dan sukses zakatnya.
Dengan segudang keutamaan bulan penuh rahmat tersebut, maka semestinya publik tidak mencederainya dengan berbagai kegiatan yang tidak mendatangkan manfaat. Akhir – akhir ini, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi (IT), ada banyak kegiatan yang justru memberikan banyak mudharat ketimbang manfaatnya. Salah satunya adalah sinema elektronik (sinetron) yang banyak ditayangkan oleh stasiun sistem jaringan (SSJ) atau TV swasta yang banyak menyita waktu, dan yang menjadi korban adalah ibu rumah tangga (perempuan), anak dan remaja.
Banyak yang berpendapat sinetron yang ditayangkan oleh seluruh SSJ, tidak berkualitas dan banyak diantara sinetron tersebut yang justru tidak pro sosial, yakni hanya menghadirkan beragam sensasi (full sensation) dengan selling point berupa adegan kekerasan dan pornografi. Sinetron berkedok religi-pun justru tidak sedikit yang sarat dengan kekerasan, pornografi, dan mistik yang menggiring khalayak pada kemusyrikan, yang oleh Hidayat Nahwi Rasul dikatakan sebagai pengkerdilan karakter, dan berujung pada terciptanya generasi cacat moral (tuna moral).
Sejumlah lembaga, seperti Yayasan SET, TIFA, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) telah melakukan riset perihal keberadaan sinetron di TV dan melaporkan bahwa program sinetron lemah dalam meningkatkan empati sosial, tidak memberikan model perilaku yang baik, banyak adegan kekerasan, dan tidak bebas pornografi.
Penelitian yang dilakukan tahun 2008 dan 2009 tersebut melibatkan 220 responden di 11 kota di Indonesia, antara lain Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Denpasar, Batam, Pontianak, dan Palembang menyebutkan bahwa tema sinetron tidak relevan dengan kenyataan masyarakat, tidak ramah anak, tidak ramah lingkungan, bias jender, dan tidak berpihak pada kepentingan publik. Sinetron hanya mampu menghibur tanpa menghadirkan perilaku-perilaku yang mendidik.
Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh seorang mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan mengambil masalah hubungan menonton sinetron tersanjung dengan tingkat agresifitas penonton, dengan obyek penelitian ibu rumah tangga. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara menonton sinetron dengan sikap agresifitas ibu RT. Penonton dengan tingkat intensitas dan durasi menonton sinetron tersanjung yang tinggi mempunyai tingkat agresifitas yang tinggi pula. Perilaku (cara bertindak) dan cara bertutur para pemain sinetron seringkali mengilhami perilaku dan tindak tutur anak, remaja, dan orang dewasa untuk tidak pro sosial.
Dengan dampak negatif itulah maka MUI mendukung langkah strategis KPI Pusat dan KPI Daerah untuk melakukan teguran, pemberian sanksi, hingga pada penghentian mata acara acara sinetron yang mengandung banyak masalah, seperti pornografi, kekerasan, dan tidak pro pada kepentingan dan pencerahan publik. Dampak negatif itupulalah yang mengilhami pengurus teras NU beberapa saat yang lalu untuk memfatwakan bahwa menonton sinetron adalah haram.
Alasan anti sosial itu pulalah yang menginspirasi manajemen (pemohon) PT. Sakti Makassar Televisi berkomitmen untuk tidak menayangkan sinetron dalam program siarannya. Demikian terungkap dalam Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) PT. Sakti Makassar Televisi sebagai salah satu proses untuk memperoleh Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) pada Sabtu, 30 Juli 2011 di Makassar Golden Hotel yang dihadiri oleh unsur tokoh masyarakat, tokoh pendidikan (akademisi), pemuda, masyarakat marginal minor, tuna netra, Pemda Takalar, Kepolisian, dan menghadirkan akademisi dan praktisi sebagai pembahas/penanggap dalam EDP tersebut, yang dihadiri seluruh komisioner KPID Sulawesi Selatan.
Saatnya Diet Sinetron
Sinetron sebagai salah satu mata acara yang menjadi primadona seluruh SSJ (TV swasta) dan diganrungi oleh ibu-ibu rumah tangga memberikan dampak positif dan negatif, tapi yang menjadi masalah klasik adalah dampak negatifnya lebih menonjol ketimbang dampak positifnya. Sinetron sebagai primadona sebagian lembaga penyiaran swasta, namun permasalahannya juga pelik bukan hanya jalan cerita yang terlalu berbelit-belit namun sekaligus menciptakan budaya kekerasan verbal dan non verbal. Kualitas isi ceritanya hanya seputar soal perebutan harta, pelecehan terhadap tatanan moral dan budaya termasuk perselingkuhan, hubungan di luar pernikahan sampai dengan penghinaan terhadap orang tua, guru-guru dan kaum marginal (Widianti, Ezki TR, 2011).
Tayangan yang ada di televisi, termasuk sinetron, ada yang masuk kategori aman, hati-hati, dan tidak aman. Acara yang aman adalah acara yang karena kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami, dan anak-anak boleh menonton tanpa didampingi oleh orang tua. Acara yang adalah isi acaranya mengandung unsur kekerasan, seks, dan mistik, namun tidak berlebihan. Tema dan jalan cerita mungkin kurang cocok untuk anak usia SD sehingga harus didampingi saat menonton. Acara yang tidak aman, yaitu isi acara yang banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistik secara berlebihan dan terbuka. Daya tarik utama ada pada adegan-adegan tersebut, sehingga sebaiknya anak-anak jangan menonton acara tersebut.
Dengan demikian, maka orang tua semestinya mendampingi anak ketika mereka menonton, atau menempatkan TV di ruangan yang mudah dikontrol sehingga dampak buruk media TV tidak merusak generasi muda bangsa ini dari tayangan-tayangan yang tidak pro sosial. Materi dan isi tayangan di televisi diibaratkan peluru atau jarum suntik yang ditembakkan ke sasaran, sehingga sasaran tidak dapat menghindar. Ini dimaksudkan bahwa peluru dan jarum suntik memiliki kekuatan yang luar biasa didalam upaya “mempengaruhi” pemirsanya. Inilah yang kemjudian disebut teori jarum suntik, yang melandasi teorinya pada teori stimulus-response (Rasyid, Mochamad Riyanto, 2011).
Dengan adanya peniruan yang dilakukan oleh penonton, apakah itu anak-anak, remaja, dan ibu rumah tangga, akan berdampak pada olah pikir (kognitif), olah prilaku, dan olah tindak. Tidak sedikit anak yang anti sosial terhadap teman bahkan kepada orang tuanya sekalipun, akibat melihat tontonan yang tidak mendidik di televisi, seperti tontonan film kartun, dan sinetron itu sendiri. Demikian halnya dengan ibu rumah tangga yang menghabiskan sebagian waktunya untuk duduk di depan televisi sehingga kurang menghiraukan keperluan dan keberadaan sang suami tercinta. Tidak sedikit ibu rumah tangga yang lupa menyajikan menu kesukaan suaminya akibat duduk berjam-jam di depan layar kaca, bernama televisi tersebut. Banyak juga diantara ibu-ibu yang tidak lagi sempat memoles dan mempercantik diri demi untuk menyenangkan sang suami tercinta.
Demikian halnya, di bulan suci Ramadan, khalayak terutama anak, remaja, dan ibu rumah tangga membuang banyak waktu di depan televisi, padahal sesungguhnya bulan penuh rahmat tersebut hendaknya diisi dengan hal-hal yang positif dan bermanfaat, seperti membaca Alquran, menunaikan salat dhuha di pagi hari, dzikir (ingat kepada Sang Khalik), dan memperbanyak ibadah-ibadah sunnah lainnya, bukankah kita tahu bahwa amalan di bulan suci Ramadan dilipatgandakan hingga tak terhingga oleh Allah. Membaca buku pelajaran bagi anak dan remaja, juga perlu ketimbang membuang waktu nonton televisi. Membaca dan menulis bagi guru, dosen, dan profesional lainnya, lebih bermanfaat daripada hanya duduk berjam-jam di depan televisi sekedar menunggu waktu berbuka puasa. Dengan demikian, anak, remaja, dan orang dewasa akan semakin matang dalam berpikir dan bertindak, dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Itulah sebabnya kampanye “diet sinetron” perlu dilakukan, dan semestinya pengelola industri lembaga penyiaran, khususnya televisi menghadirkan program ramah keluarga di bulan suci Ramadan ini.
Sukardi Weda
Ditegaskan dalam hadist Rasulullah Muhammad SAW, barang siapa yang mendapatkan Lailatul Qadar di bulan suci Ramadan, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak 1000 bulan. Demikian halnya dengan yang melakukan itikaf akan mendapatkan pengampunan. Oleh karena itu, di bulan Ramadan ini, ada baiknya sebagai seorang Islam yang kaffah, perlu mencanangkan 6 sukses Ramadan. Sukses puasanya, sukses salat tarwihnya, sukses baca Alqurannya, sukses itikafnya, sukses lailatul qadarnya, dan sukses zakatnya.
Dengan segudang keutamaan bulan penuh rahmat tersebut, maka semestinya publik tidak mencederainya dengan berbagai kegiatan yang tidak mendatangkan manfaat. Akhir – akhir ini, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi (IT), ada banyak kegiatan yang justru memberikan banyak mudharat ketimbang manfaatnya. Salah satunya adalah sinema elektronik (sinetron) yang banyak ditayangkan oleh stasiun sistem jaringan (SSJ) atau TV swasta yang banyak menyita waktu, dan yang menjadi korban adalah ibu rumah tangga (perempuan), anak dan remaja.
Banyak yang berpendapat sinetron yang ditayangkan oleh seluruh SSJ, tidak berkualitas dan banyak diantara sinetron tersebut yang justru tidak pro sosial, yakni hanya menghadirkan beragam sensasi (full sensation) dengan selling point berupa adegan kekerasan dan pornografi. Sinetron berkedok religi-pun justru tidak sedikit yang sarat dengan kekerasan, pornografi, dan mistik yang menggiring khalayak pada kemusyrikan, yang oleh Hidayat Nahwi Rasul dikatakan sebagai pengkerdilan karakter, dan berujung pada terciptanya generasi cacat moral (tuna moral).
Sejumlah lembaga, seperti Yayasan SET, TIFA, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) telah melakukan riset perihal keberadaan sinetron di TV dan melaporkan bahwa program sinetron lemah dalam meningkatkan empati sosial, tidak memberikan model perilaku yang baik, banyak adegan kekerasan, dan tidak bebas pornografi.
Penelitian yang dilakukan tahun 2008 dan 2009 tersebut melibatkan 220 responden di 11 kota di Indonesia, antara lain Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Denpasar, Batam, Pontianak, dan Palembang menyebutkan bahwa tema sinetron tidak relevan dengan kenyataan masyarakat, tidak ramah anak, tidak ramah lingkungan, bias jender, dan tidak berpihak pada kepentingan publik. Sinetron hanya mampu menghibur tanpa menghadirkan perilaku-perilaku yang mendidik.
Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh seorang mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan mengambil masalah hubungan menonton sinetron tersanjung dengan tingkat agresifitas penonton, dengan obyek penelitian ibu rumah tangga. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara menonton sinetron dengan sikap agresifitas ibu RT. Penonton dengan tingkat intensitas dan durasi menonton sinetron tersanjung yang tinggi mempunyai tingkat agresifitas yang tinggi pula. Perilaku (cara bertindak) dan cara bertutur para pemain sinetron seringkali mengilhami perilaku dan tindak tutur anak, remaja, dan orang dewasa untuk tidak pro sosial.
Dengan dampak negatif itulah maka MUI mendukung langkah strategis KPI Pusat dan KPI Daerah untuk melakukan teguran, pemberian sanksi, hingga pada penghentian mata acara acara sinetron yang mengandung banyak masalah, seperti pornografi, kekerasan, dan tidak pro pada kepentingan dan pencerahan publik. Dampak negatif itupulalah yang mengilhami pengurus teras NU beberapa saat yang lalu untuk memfatwakan bahwa menonton sinetron adalah haram.
Alasan anti sosial itu pulalah yang menginspirasi manajemen (pemohon) PT. Sakti Makassar Televisi berkomitmen untuk tidak menayangkan sinetron dalam program siarannya. Demikian terungkap dalam Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) PT. Sakti Makassar Televisi sebagai salah satu proses untuk memperoleh Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) pada Sabtu, 30 Juli 2011 di Makassar Golden Hotel yang dihadiri oleh unsur tokoh masyarakat, tokoh pendidikan (akademisi), pemuda, masyarakat marginal minor, tuna netra, Pemda Takalar, Kepolisian, dan menghadirkan akademisi dan praktisi sebagai pembahas/penanggap dalam EDP tersebut, yang dihadiri seluruh komisioner KPID Sulawesi Selatan.
Saatnya Diet Sinetron
Sinetron sebagai salah satu mata acara yang menjadi primadona seluruh SSJ (TV swasta) dan diganrungi oleh ibu-ibu rumah tangga memberikan dampak positif dan negatif, tapi yang menjadi masalah klasik adalah dampak negatifnya lebih menonjol ketimbang dampak positifnya. Sinetron sebagai primadona sebagian lembaga penyiaran swasta, namun permasalahannya juga pelik bukan hanya jalan cerita yang terlalu berbelit-belit namun sekaligus menciptakan budaya kekerasan verbal dan non verbal. Kualitas isi ceritanya hanya seputar soal perebutan harta, pelecehan terhadap tatanan moral dan budaya termasuk perselingkuhan, hubungan di luar pernikahan sampai dengan penghinaan terhadap orang tua, guru-guru dan kaum marginal (Widianti, Ezki TR, 2011).
Tayangan yang ada di televisi, termasuk sinetron, ada yang masuk kategori aman, hati-hati, dan tidak aman. Acara yang aman adalah acara yang karena kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami, dan anak-anak boleh menonton tanpa didampingi oleh orang tua. Acara yang adalah isi acaranya mengandung unsur kekerasan, seks, dan mistik, namun tidak berlebihan. Tema dan jalan cerita mungkin kurang cocok untuk anak usia SD sehingga harus didampingi saat menonton. Acara yang tidak aman, yaitu isi acara yang banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistik secara berlebihan dan terbuka. Daya tarik utama ada pada adegan-adegan tersebut, sehingga sebaiknya anak-anak jangan menonton acara tersebut.
Dengan demikian, maka orang tua semestinya mendampingi anak ketika mereka menonton, atau menempatkan TV di ruangan yang mudah dikontrol sehingga dampak buruk media TV tidak merusak generasi muda bangsa ini dari tayangan-tayangan yang tidak pro sosial. Materi dan isi tayangan di televisi diibaratkan peluru atau jarum suntik yang ditembakkan ke sasaran, sehingga sasaran tidak dapat menghindar. Ini dimaksudkan bahwa peluru dan jarum suntik memiliki kekuatan yang luar biasa didalam upaya “mempengaruhi” pemirsanya. Inilah yang kemjudian disebut teori jarum suntik, yang melandasi teorinya pada teori stimulus-response (Rasyid, Mochamad Riyanto, 2011).
Dengan adanya peniruan yang dilakukan oleh penonton, apakah itu anak-anak, remaja, dan ibu rumah tangga, akan berdampak pada olah pikir (kognitif), olah prilaku, dan olah tindak. Tidak sedikit anak yang anti sosial terhadap teman bahkan kepada orang tuanya sekalipun, akibat melihat tontonan yang tidak mendidik di televisi, seperti tontonan film kartun, dan sinetron itu sendiri. Demikian halnya dengan ibu rumah tangga yang menghabiskan sebagian waktunya untuk duduk di depan televisi sehingga kurang menghiraukan keperluan dan keberadaan sang suami tercinta. Tidak sedikit ibu rumah tangga yang lupa menyajikan menu kesukaan suaminya akibat duduk berjam-jam di depan layar kaca, bernama televisi tersebut. Banyak juga diantara ibu-ibu yang tidak lagi sempat memoles dan mempercantik diri demi untuk menyenangkan sang suami tercinta.
Demikian halnya, di bulan suci Ramadan, khalayak terutama anak, remaja, dan ibu rumah tangga membuang banyak waktu di depan televisi, padahal sesungguhnya bulan penuh rahmat tersebut hendaknya diisi dengan hal-hal yang positif dan bermanfaat, seperti membaca Alquran, menunaikan salat dhuha di pagi hari, dzikir (ingat kepada Sang Khalik), dan memperbanyak ibadah-ibadah sunnah lainnya, bukankah kita tahu bahwa amalan di bulan suci Ramadan dilipatgandakan hingga tak terhingga oleh Allah. Membaca buku pelajaran bagi anak dan remaja, juga perlu ketimbang membuang waktu nonton televisi. Membaca dan menulis bagi guru, dosen, dan profesional lainnya, lebih bermanfaat daripada hanya duduk berjam-jam di depan televisi sekedar menunggu waktu berbuka puasa. Dengan demikian, anak, remaja, dan orang dewasa akan semakin matang dalam berpikir dan bertindak, dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Itulah sebabnya kampanye “diet sinetron” perlu dilakukan, dan semestinya pengelola industri lembaga penyiaran, khususnya televisi menghadirkan program ramah keluarga di bulan suci Ramadan ini.
Sukardi Weda
0 komentar:
Posting Komentar